Penggunaan Kayu untuk Bangunan, Salahkah?
Tulisan kali ini menampilkan diskusi ringan para arsitek dari generasi yang
berbeda di grup WA tentang penggunaan kayu untuk bangunan, diskusi berawal
dari komentar singkat Satrio Herlambang terhadap undangan mengikuti seminar
daring (online) ikaned yang menampilkan gambar rumah kayu, “hehehehehee ...
Arsitek Belanda masuk lagi ....” tulisnya.
![]() |
seminar yang diselenggarakan ikatan alumni nederland |
Tak berselang lama Budi A Sukada menanggapi, “Masih pakai kayu? Pertanyaan
saya selalu sama: berapa pohon yang ditebang untuk mendirikan karya seperti
itu?” Tampaknya hal ini dilakukan segera setelah melihat gambar bangunan berbahan kayu yang mencolok di poster itu.
Bonita DM Nainggolan pun teringat ketika membahas Stadion di Jepang dengan
almarhum Ahmad Djuhara di salah satu grup. Jepang beda dengan Indonesia.
Indonesia pakai kayu tidak dipikirkan berapa lama pohon pada akhirnya bisa
dipakai untuk yang dibutuhkan. Hutan kayu pun bukan punya Eyangnya. Dia jadi
ingat juga Tsunami Aceh. Pembalakan liar hutan mengambil Kayu untuk dibawa
keluar Aceh, ketika terjadi Tsunami tidak bisa pakai kayu yang ada di hutan,
Ilegal. Jadi (terpaksa) beli ke Kalimantan 😬😬😬
Menanggapi Budi Sukada, Satrio menyampaikan bahwa di Eropa baru nge-trend
pakai GLT (Glue Laminated Timber) dan CLT (Cross Laminated Timber).
Engineering Wood, timpal Bonita.
![]() |
ilustrasi penggunaan engineered wood pada bangunan |
Menurut Budi Sukada, tetap saja pakai kayu, ujung-ujungnya tetap menebang
pohon yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Dahulu, besi dan
baja dikembangkan secara massal dalam rangka menggantikan kayu dan batu. Eeh,
sekarang malah pakai kayu lagi, tambahnya.
Atas penyampaian itu, Harry Mufrizon memberi argumen sebelum bertanya, “Saya
suka nonton acara Treehouse Master, semua material dia kayu mulai dari balok
yang ukuran lebih besar dari balok kayu kita, itu bagaimana Pak?” Bonita
menguatkan bahwa dia menonton Waku-Waku juga begitu.
Mario Wibisono menambahkan informasi, kalau di luar negeri seperti di Amerika
ada hutan industri yang memang sengaja ditanam untuk dipanen dan harus menanam
lagi beberapa kali lipat dari yang dipanen. Bonita pun menyampaikan,
kalau di Indonesia banyak yang punya Hutan Jati milik Pribadi buat tabungan
anak-anak mereka, buat Warisan, Namun menurut Mario, (sambil terkekeh) hehehe
tetapi ujung-ujungnya tidak bisa dipakai tuh, karena harus ada suratnya dari
Perhutani. “Iyaaaa mahal pula bayar sertifikat,” sahut Bonita
Budi Sukada memberi jawaban bahwa dia tidak pernah percaya pada jaminan bahwa
pemakaian kayu untuk bangunan akan selaras dengan tumbuhnya pohon baru yang
layak-tebang.
Satrio pun mengejar dengan nada tanya, “Intinya tetap merusak lingkungan ya
Pak Budi?”
“Betul,” jawab Budi Sukada singkat.
Libradi Dwi Putranto yang jarang ikut diskusi jadi tergelitik untuk ikut
berkomentar bahwa ia pernah berdiskusi dengan seorang teman, yang intinya:
Namanya lingkungan binaan sudah pasti merusak lingkungan. Nah
bagaimana meminimalisir kerusakan yang terjadi (dalam konteks pemakaian bahan
bangunan)?
- Memakai Kayu yang merusak hutan yang kayunya bisa ditanam kembali (walau saya setuju, apa iya ditanam kembali?)
- Memakai beton dan semen yang tidak merusak hutan tetapi menggerus gunung (yang tidak bisa ditumbuhkan kembali gunungnya)
Dilematis, walau akhirnya kami mengambil kesimpulan (sok pintar):
Pakai kayu (dalam hal ini kayu olahan dari hutan industri)
SEPERTINYA lebih baik, karena bisa lebih sustain. Tentu saja syarat dan
ketentuan berlaku.
Dan kembali Budi Sukada meragukan hutan industri itu sustaining, baik
dalam sistem maupun pelaksanaannya.
Ruben Tangido menyela karena teringat kata-kata almarhum Prof. Sandy Siregar
waktu dia "disidang" sama para sesepuh gara-gara Sayembara Prambanan,
"Arsitektur itu memang harus meng-intervensi."
Kali ini baik Mario dan Libradi membenarkan dan setuju dengan pernyataan Budi
Sukada itu. Di samping itu, Libradi punya pendapat kalau kayu gelondongan vs
beton, mungkin sepakat beton. Ketika muncul kayu CLT, apalah lebih baik atau
buruk, dia pun ragu (khususnya di Indonesia), tetapi masuk akal kalau pakai
teori mendang-mending. 😅 Sama seperti mobil bensin vs listrik yang teorinya
listrik lebih ramah lingkungan ... tetapi di Indonesia, PLN-nya masih pakai
batu bara dan sumber lain yang tidak ramah lingkungan. Maka kesimpulan dia dan
teman-teman, pakai kata "Sepertinya" dan ada tanda bintang "syarat dan ketentuan berlaku" dan masih mencoba mencari tahu, CLT itu makhluk apa dan apakah benar
sustain?
Dalam pandangan Libradi diskusi ini menarik dan belum ada kesimpulan akhir,
jadi masih penasaran untuk terus belajar.
Mario menyela bahwa kalau mobil listrik bahayanya justru di baterainya sebagai
sampah yang susah diurai, hal itu dibenarkan oleh Libradi dengan menambahkan
bahwa sebenarnya hal yang terlihat baik bisa jadi malah sebenarnya kurang
baik, dan sebaliknya. Sebagai pendosa, kita kudu cermat pilih-pilih mana dosa
yang paling sedikit? 😅 Dan bisa diulangi, timpal Mario.
Chairul Amal Septono yang sejak awal hanya menyimak berpandangan bahwa mungkin
permasalahannya ada pada pemakaian (eksplorasi) yang berlebihan sehingga
merusak keseimbangan ekosistem. Dan di penghujung diskusi Marwan Massinai
memberi catatan, Arsitek, Eksplorasi, Sustainable, Energi terbarukan,
Pendosa tetapi ada namanya Teori ... Pembangunan tanpa Teori atau ada
juga the Will to improve.
Dalam perjalanan hidupnya, apa yang disampaikan Budi Sukada tidaklah salah
karena yang dia sampaikan adalah berdasarkan keprihatinan dan pengamatannya
tentang kenyataan yang memang terjadi hingga saat ini,
kita semua memang abai terhadap lingkungan (bumi) kita.
Andai yang terjadi tidak demikian, bisa dipastikan dia akan bersikap biasa saja ketika melihat bangunan di poster tadi. Bagaimana tidak? Negara dengan hutan tropis yang luas ini, kayu dengan kualitas 1 saat ini sulit didapatkan, kalau pun ada sangat mahal harganya, kayu yang beredar di lapangan kualitasnya buruk, orang bilang kayu "kelas kambing", yang kualitas 1 justru lebih banyak diekspor!
Penggunaan kayu memang merusak lingkungan tetapi dia sebetulnya jauh lebih
mudah diperbaiki (ditanami lagi), dibanding besi dan baja yang juga sama-sama
merusak lingkungan, (jangan lupa) mereka menebang pohon juga ketika
mengeksplorasi, dan apabila habis tidak bisa (akan sangat lama) untuk
pengadaannya kembali.
![]() |
ilustrasi penambangan besi 160.000 km2 di kurst, rusia yang seperti halnya freeport, kegiatan penambangan selain menebangi pohon juga mengakibatkan kerusakan lingkungan sangat parah |
Penanaman kembali memang mudah dalam teori, mengingat kerusakan hutan
(penghilangan pohon) terus terjadi dan semakin masif, bahkan untuk pengadaan
food estate pun direncanakan membuka hutan (menebang pohon) hingga satu
juta hektare. Untuk itu SANGAT DIPERLUKAN kesadaran dan pengaturan yang
amat ketat sekali yang harus dibarengi dengan hukuman (punishment) yang berat
dan adil, agar hal-hal seperti pada “hutan” jati pribadi milik rakyat tidak
pula jadi menyusahkan masyarakat.
Meski kayu banyak kekurangannya, seperti soal awet, muai susut, kekuatan, atau
kerusakan lingkungan, tetapi sampai hari ini, rumah (horizontal) rakyat
Amerika pun yang terbanyak pakai kayu.
Biang kerok yang selalu jadi masalah adalah MENEBANG TIDAK DIBARENGI
DENGAN MENANAM KEMBALI, apalagi memeliharanya!
Andai para penebang pohon ini seperti masyarakat adat, yang meski (sepertinya)
untuk pemeliharaannya masih diserahkan kepada alam, tetapi kita sudah punya
contoh baik yang perlu terus ditebar dan dikembangkan. Ada Suku Kajang di
Sulawesi yang tiap menebang 1 pohon dibarengi dengan menanam 3 atau 4 pohon
yang sama atau Suku Besemah, Sumatera Selatan, memiliki tradisi unik setiap
memasuki hutan, wajib menabur biji-bijian. Mereka menaburnya di area terbuka,
baik akibat longsor atau ulah manusia.
Selain itu, yang diperlukan adalah REKAYASA GENETIKA. Contoh pohon trembesi
cepat besar tetapi batangnya tidak kuat, di lain pihak pohon jati atau mahoni
kayunya baik tetapi lambat tumbuhnya.
Bahan dengan kerusakan alam yang bisa diminimalisir sebetulnya memang kayu.
Bahan alternatif yang bisa digunakan dan dikembangkan serta cepat tumbuhnya
adalah bambu, yang masih tergolong kayu juga. Bambu 6 bulan - 1 tahun sudah
bisa dipanen, ada juga yang 4-5 tahun dipanen, tetapi masih kurang
dimanfaatkan dan dikembangkan.
![]() |
ilustrasi bambu sebagai bahan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan mengingat cepat pertumbuhannya (kiri) juga beberapa contoh jenis banbu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan (kanan) |
Kayu atau bambu musuhnya rayap dan lapuk. Besi dan baja musuhnya karat.
Bahan lain yang bisa dan perlu direkayasa serta dikembangkan untuk
dimanfaatkan adalah LIMBAH. Di konstruksi, limbah plastik telah mulai
digunakan untuk pangaspalan, paving block, dan masih bisa
dikembangkan untuk lainnya.
![]() |
ilustrasi paving block yang dibuat dari hasil daur ulang sampah plastik |
Ada juga Glass Fiber Reinforced Polymer (GFRP) yang sebagai
alternatif untuk pengganti tulangan beton.
![]() |
heydar aliyev cultural center karya zaha hadid menggunakan glass fiber reinforced polymer untuk selubung bangunannya |
Penelitian dan pengembangan masih perlu terus dilakukan, mengenai bahan
alternatif apakah kayu, besi, baja, bambu, plastik, atau bahan-bahan campuran
di antara mereka, ataupun bahan-bahan lainnya.
Teknologi 3D printing pun telah merambah ke dunia konstruksi,
menjadikan bangunan bisa diproduksi dengan cara di-print seperti
layaknya kita mencetak tulisan atau gambar dengan alat cetak (printer).
![]() |
ilustrasi pembangunan rumah menggunakan teknologi 3d printing menambah semarak dunia konstruksi |
Memilih memang tidak mudah, tetapi pilihan harus dilakukan (tidak bisa
dihindari) ....
| Jakarta, 15 April 2025 | samidirijono |
(sumber: diskusi grup WA tanggal 28 Agustus 2020 dan penambahan ilustrasi
gambar dari berbagai sumber)
0 Post a Comment