Penggunaan Kayu untuk Bangunan, Salahkah?

by - April 15, 2025

Tulisan kali ini menampilkan diskusi ringan para arsitek dari generasi yang berbeda di grup WA tentang penggunaan kayu untuk bangunan, diskusi berawal dari komentar singkat Satrio Herlambang terhadap undangan mengikuti seminar daring (online) ikaned yang menampilkan gambar rumah kayu, “hehehehehee ... Arsitek Belanda masuk lagi ....” tulisnya. 

seminar yang diselenggarakan ikatan alumni nederland

Tak berselang lama Budi A Sukada menanggapi, “Masih pakai kayu? Pertanyaan saya selalu sama: berapa pohon yang ditebang untuk mendirikan karya seperti itu?”  Tampaknya hal ini dilakukan segera setelah melihat gambar bangunan berbahan kayu yang mencolok di poster itu.

Bonita DM Nainggolan pun teringat ketika membahas Stadion di Jepang dengan almarhum Ahmad Djuhara di salah satu grup. Jepang beda dengan Indonesia. Indonesia pakai kayu tidak dipikirkan berapa lama pohon pada akhirnya bisa dipakai untuk yang dibutuhkan. Hutan kayu pun bukan punya Eyangnya. Dia jadi ingat juga Tsunami Aceh. Pembalakan liar hutan mengambil Kayu untuk dibawa keluar Aceh, ketika terjadi Tsunami tidak bisa pakai kayu yang ada di hutan, Ilegal. Jadi (terpaksa) beli ke Kalimantan 😬😬😬

Menanggapi Budi Sukada, Satrio menyampaikan bahwa di Eropa baru nge-trend pakai GLT (Glue Laminated Timber) dan CLT (Cross Laminated Timber). Engineering Wood, timpal Bonita. 

ilustrasi penggunaan engineered wood pada bangunan

Menurut Budi Sukada, tetap saja pakai kayu, ujung-ujungnya tetap menebang pohon yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Dahulu, besi dan baja dikembangkan secara massal dalam rangka menggantikan kayu dan batu. Eeh, sekarang malah pakai kayu lagi, tambahnya.

Atas penyampaian itu, Harry Mufrizon memberi argumen sebelum bertanya, “Saya suka nonton acara Treehouse Master, semua material dia kayu mulai dari balok yang ukuran lebih besar dari balok kayu kita, itu bagaimana Pak?” Bonita menguatkan bahwa dia menonton Waku-Waku juga begitu.

Mario Wibisono menambahkan informasi, kalau di luar negeri seperti di Amerika ada hutan industri yang memang sengaja ditanam untuk dipanen dan harus menanam lagi beberapa kali lipat dari yang dipanen.  Bonita pun menyampaikan, kalau di Indonesia banyak yang punya Hutan Jati milik Pribadi buat tabungan anak-anak mereka, buat Warisan, Namun menurut Mario, (sambil terkekeh) hehehe tetapi ujung-ujungnya tidak bisa dipakai tuh, karena harus ada suratnya dari Perhutani. “Iyaaaa mahal pula bayar sertifikat,” sahut Bonita 

Budi Sukada memberi jawaban bahwa dia tidak pernah percaya pada jaminan bahwa pemakaian kayu untuk bangunan akan selaras dengan tumbuhnya pohon baru yang layak-tebang.

Satrio pun mengejar dengan nada tanya, “Intinya tetap merusak lingkungan ya Pak Budi?”  
“Betul,” jawab Budi Sukada singkat.

Libradi Dwi Putranto yang jarang ikut diskusi jadi tergelitik untuk ikut berkomentar bahwa ia pernah berdiskusi dengan seorang teman, yang intinya:
Namanya lingkungan binaan sudah pasti merusak lingkungan. Nah bagaimana meminimalisir kerusakan yang terjadi (dalam konteks pemakaian bahan bangunan)?
  1. Memakai Kayu yang merusak hutan yang kayunya bisa ditanam kembali (walau saya setuju, apa iya ditanam kembali?)
  2. Memakai beton dan semen yang tidak merusak hutan tetapi menggerus gunung (yang tidak bisa ditumbuhkan kembali gunungnya)
Dilematis, walau akhirnya kami mengambil kesimpulan (sok pintar):
Pakai kayu (dalam hal ini kayu olahan dari hutan industri) SEPERTINYA lebih baik, karena bisa lebih sustain. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku.

Dan kembali Budi Sukada meragukan hutan industri itu sustaining, baik dalam sistem maupun pelaksanaannya.

Ruben Tangido menyela karena teringat kata-kata almarhum Prof. Sandy Siregar waktu dia "disidang" sama para sesepuh gara-gara Sayembara Prambanan, "Arsitektur itu memang harus meng-intervensi."

Kali ini baik Mario dan Libradi membenarkan dan setuju dengan pernyataan Budi Sukada itu. Di samping itu, Libradi punya pendapat kalau kayu gelondongan vs beton, mungkin sepakat beton. Ketika muncul kayu CLT, apalah lebih baik atau buruk, dia pun ragu (khususnya di Indonesia), tetapi masuk akal kalau pakai teori mendang-mending. 😅 Sama seperti mobil bensin vs listrik yang teorinya listrik lebih ramah lingkungan ... tetapi di Indonesia, PLN-nya masih pakai batu bara dan sumber lain yang tidak ramah lingkungan. Maka kesimpulan dia dan teman-teman, pakai kata "Sepertinya" dan ada tanda bintang "syarat dan ketentuan berlaku" dan masih mencoba mencari tahu, CLT itu makhluk apa dan apakah benar sustain?
Dalam pandangan Libradi diskusi ini menarik dan belum ada kesimpulan akhir, jadi masih penasaran untuk terus belajar.

Mario menyela bahwa kalau mobil listrik bahayanya justru di baterainya sebagai sampah yang susah diurai, hal itu dibenarkan oleh Libradi dengan menambahkan bahwa sebenarnya hal yang terlihat baik bisa jadi malah sebenarnya kurang baik, dan sebaliknya. Sebagai pendosa, kita kudu cermat pilih-pilih mana dosa yang paling sedikit? 😅  Dan bisa diulangi, timpal Mario.

Chairul Amal Septono yang sejak awal hanya menyimak berpandangan bahwa mungkin permasalahannya ada pada pemakaian (eksplorasi) yang berlebihan sehingga merusak keseimbangan ekosistem. Dan di penghujung diskusi Marwan Massinai memberi catatan, Arsitek, Eksplorasi, Sustainable, Energi terbarukan, Pendosa  tetapi ada namanya Teori ... Pembangunan tanpa Teori atau ada juga the Will to improve.

Dalam perjalanan hidupnya, apa yang disampaikan Budi Sukada tidaklah salah karena yang dia sampaikan adalah berdasarkan keprihatinan dan pengamatannya tentang kenyataan yang memang terjadi hingga saat ini, kita semua memang abai terhadap lingkungan (bumi) kita.  

Andai yang terjadi tidak demikian, bisa dipastikan dia akan bersikap biasa saja ketika melihat bangunan di poster tadi. Bagaimana tidak?  Negara dengan hutan tropis yang luas ini, kayu dengan kualitas 1 saat ini sulit didapatkan, kalau pun ada sangat mahal harganya, kayu yang beredar di lapangan kualitasnya buruk, orang bilang kayu "kelas kambing", yang kualitas 1 justru lebih banyak diekspor!

Penggunaan kayu memang merusak lingkungan tetapi dia sebetulnya jauh lebih mudah diperbaiki (ditanami lagi), dibanding besi dan baja yang juga sama-sama merusak lingkungan, (jangan lupa) mereka menebang pohon juga ketika mengeksplorasi, dan apabila habis tidak bisa (akan sangat lama) untuk pengadaannya kembali. 

ilustrasi penambangan besi 160.000 km2 di kurst, rusia yang seperti halnya freeport, kegiatan penambangan selain menebangi pohon juga mengakibatkan kerusakan lingkungan sangat parah

Penanaman kembali memang mudah dalam teori, mengingat kerusakan hutan (penghilangan pohon) terus terjadi dan semakin masif, bahkan untuk pengadaan food estate pun direncanakan membuka hutan (menebang pohon) hingga satu juta hektare.  Untuk itu SANGAT DIPERLUKAN kesadaran dan pengaturan yang amat ketat sekali yang harus dibarengi dengan hukuman (punishment) yang berat dan adil, agar hal-hal seperti pada “hutan” jati pribadi milik rakyat tidak pula jadi menyusahkan masyarakat.

Meski kayu banyak kekurangannya, seperti soal awet, muai susut, kekuatan, atau kerusakan lingkungan, tetapi sampai hari ini, rumah (horizontal) rakyat Amerika pun yang terbanyak pakai kayu.

rumah-rumah permanen di amerika pun sampai hari ini masih menggunakan kayu, meski dari luar tampak kayu, di ruang dalam kita bisa tidak merasa tinggal di rumah kayu. indonesia bisa menjadikan ini sebagai inspirasi ketika membangun rumah berbahan kayu, karena rumah itu tidak selalu harus bata

Biang kerok yang selalu jadi masalah adalah MENEBANG TIDAK DIBARENGI DENGAN MENANAM KEMBALI, apalagi memeliharanya! 

Andai para penebang pohon ini seperti masyarakat adat, yang meski (sepertinya) untuk pemeliharaannya masih diserahkan kepada alam, tetapi kita sudah punya contoh baik yang perlu terus ditebar dan dikembangkan. Ada Suku Kajang di Sulawesi yang tiap menebang 1 pohon dibarengi dengan menanam 3 atau 4 pohon yang sama atau Suku Besemah, Sumatera Selatan, memiliki tradisi unik setiap memasuki hutan, wajib menabur biji-bijian. Mereka menaburnya di area terbuka, baik akibat longsor atau ulah manusia. 

Selain itu, yang diperlukan adalah REKAYASA GENETIKA. Contoh pohon trembesi cepat besar tetapi batangnya tidak kuat, di lain pihak pohon jati atau mahoni kayunya baik tetapi lambat tumbuhnya.

Bahan dengan kerusakan alam yang bisa diminimalisir sebetulnya memang kayu. Bahan alternatif yang bisa digunakan dan dikembangkan serta cepat tumbuhnya adalah bambu, yang masih tergolong kayu juga. Bambu 6 bulan - 1 tahun sudah bisa dipanen, ada juga yang 4-5 tahun dipanen, tetapi masih kurang dimanfaatkan dan dikembangkan.

ilustrasi bambu sebagai bahan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan mengingat cepat pertumbuhannya (kiri) juga beberapa contoh jenis banbu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan (kanan)

Kayu atau bambu musuhnya rayap dan lapuk. Besi dan baja musuhnya karat.

Bahan lain yang bisa dan perlu direkayasa serta dikembangkan untuk dimanfaatkan adalah LIMBAH.  Di konstruksi, limbah plastik telah mulai digunakan untuk pangaspalan, paving block, dan masih bisa dikembangkan untuk lainnya.

ilustrasi paving block yang dibuat dari hasil daur ulang sampah plastik

Ada juga Glass Fiber Reinforced Polymer  (GFRP) yang sebagai alternatif untuk pengganti tulangan beton. 

heydar aliyev cultural center karya zaha hadid menggunakan glass fiber reinforced polymer untuk selubung bangunannya 

Penelitian dan pengembangan masih perlu terus dilakukan, mengenai bahan alternatif apakah kayu, besi, baja, bambu, plastik, atau bahan-bahan campuran di antara mereka, ataupun bahan-bahan lainnya. 

Teknologi 3D printing pun telah merambah ke dunia konstruksi, menjadikan bangunan bisa diproduksi dengan cara di-print seperti layaknya kita mencetak tulisan atau gambar dengan alat cetak (printer).

ilustrasi pembangunan rumah menggunakan teknologi 3d printing menambah semarak dunia konstruksi

Memilih memang tidak mudah, tetapi pilihan harus dilakukan (tidak bisa dihindari) ....


| Jakarta, 15 April 2025 | samidirijono |
(sumber: diskusi grup WA tanggal 28 Agustus 2020 dan penambahan ilustrasi gambar dari berbagai sumber)

You May Also Like

0 Post a Comment