facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Karya +
    • Cagar Budaya
    • Hunian
    • Usaha
    • Ibadah
    • Sosial Budaya
    • Manajemen Konstruksi
    • nonArsitektur
  • Ungkapan
  • Catatan
  • Tentang Kami

UngKAPAN arsitekku

Tulisan kali ini menampilkan diskusi ringan para arsitek dari generasi yang berbeda di grup WA tentang penggunaan kayu untuk bangunan, diskusi berawal dari komentar singkat Satrio Herlambang terhadap undangan mengikuti seminar daring (online) ikaned yang menampilkan gambar rumah kayu, “hehehehehee ... Arsitek Belanda masuk lagi ....” tulisnya. 

seminar yang diselenggarakan ikatan alumni nederland

Tak berselang lama Budi A Sukada menanggapi, “Masih pakai kayu? Pertanyaan saya selalu sama: berapa pohon yang ditebang untuk mendirikan karya seperti itu?”  Tampaknya hal ini dilakukan segera setelah melihat gambar bangunan berbahan kayu yang mencolok di poster itu.

Bonita DM Nainggolan pun teringat ketika membahas Stadion di Jepang dengan almarhum Ahmad Djuhara di salah satu grup. Jepang beda dengan Indonesia. Indonesia pakai kayu tidak dipikirkan berapa lama pohon pada akhirnya bisa dipakai untuk yang dibutuhkan. Hutan kayu pun bukan punya Eyangnya. Dia jadi ingat juga Tsunami Aceh. Pembalakan liar hutan mengambil Kayu untuk dibawa keluar Aceh, ketika terjadi Tsunami tidak bisa pakai kayu yang ada di hutan, Ilegal. Jadi (terpaksa) beli ke Kalimantan 😬😬😬

Menanggapi Budi Sukada, Satrio menyampaikan bahwa di Eropa baru nge-trend pakai GLT (Glue Laminated Timber) dan CLT (Cross Laminated Timber). Engineering Wood, timpal Bonita. 

ilustrasi penggunaan engineered wood pada bangunan

Menurut Budi Sukada, tetap saja pakai kayu, ujung-ujungnya tetap menebang pohon yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Dahulu, besi dan baja dikembangkan secara massal dalam rangka menggantikan kayu dan batu. Eeh, sekarang malah pakai kayu lagi, tambahnya.

Atas penyampaian itu, Harry Mufrizon memberi argumen sebelum bertanya, “Saya suka nonton acara Treehouse Master, semua material dia kayu mulai dari balok yang ukuran lebih besar dari balok kayu kita, itu bagaimana Pak?” Bonita menguatkan bahwa dia menonton Waku-Waku juga begitu.

Mario Wibisono menambahkan informasi, kalau di luar negeri seperti di Amerika ada hutan industri yang memang sengaja ditanam untuk dipanen dan harus menanam lagi beberapa kali lipat dari yang dipanen.  Bonita pun menyampaikan, kalau di Indonesia banyak yang punya Hutan Jati milik Pribadi buat tabungan anak-anak mereka, buat Warisan, Namun menurut Mario, (sambil terkekeh) hehehe tetapi ujung-ujungnya tidak bisa dipakai tuh, karena harus ada suratnya dari Perhutani. “Iyaaaa mahal pula bayar sertifikat,” sahut Bonita 

Budi Sukada memberi jawaban bahwa dia tidak pernah percaya pada jaminan bahwa pemakaian kayu untuk bangunan akan selaras dengan tumbuhnya pohon baru yang layak-tebang.

Satrio pun mengejar dengan nada tanya, “Intinya tetap merusak lingkungan ya Pak Budi?”  
“Betul,” jawab Budi Sukada singkat.

Libradi Dwi Putranto yang jarang ikut diskusi jadi tergelitik untuk ikut berkomentar bahwa ia pernah berdiskusi dengan seorang teman, yang intinya:
Namanya lingkungan binaan sudah pasti merusak lingkungan. Nah bagaimana meminimalisir kerusakan yang terjadi (dalam konteks pemakaian bahan bangunan)?
  1. Memakai Kayu yang merusak hutan yang kayunya bisa ditanam kembali (walau saya setuju, apa iya ditanam kembali?)
  2. Memakai beton dan semen yang tidak merusak hutan tetapi menggerus gunung (yang tidak bisa ditumbuhkan kembali gunungnya)
Dilematis, walau akhirnya kami mengambil kesimpulan (sok pintar):
Pakai kayu (dalam hal ini kayu olahan dari hutan industri) SEPERTINYA lebih baik, karena bisa lebih sustain. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku.

Dan kembali Budi Sukada meragukan hutan industri itu sustaining, baik dalam sistem maupun pelaksanaannya.

Ruben Tangido menyela karena teringat kata-kata almarhum Prof. Sandy Siregar waktu dia "disidang" sama para sesepuh gara-gara Sayembara Prambanan, "Arsitektur itu memang harus meng-intervensi."

Maka itu kita (arsitek) semua pendosa, hehe ... tandas Budi Sukada.

Kali ini baik Mario dan Libradi membenarkan dan setuju dengan pernyataan Budi Sukada itu. Di samping itu, Libradi punya pendapat kalau kayu gelondongan vs beton, mungkin sepakat beton. Ketika muncul kayu CLT, apalah lebih baik atau buruk, dia pun ragu (khususnya di Indonesia), tetapi masuk akal kalau pakai teori mendang-mending. 😅 Sama seperti mobil bensin vs listrik yang teorinya listrik lebih ramah lingkungan ... tetapi di Indonesia, PLN-nya masih pakai batu bara dan sumber lain yang tidak ramah lingkungan. Maka kesimpulan dia dan teman-teman, pakai kata "Sepertinya" dan ada tanda bintang "syarat dan ketentuan berlaku" dan masih mencoba mencari tahu, CLT itu makhluk apa dan apakah benar sustain?
Dalam pandangan Libradi diskusi ini menarik dan belum ada kesimpulan akhir, jadi masih penasaran untuk terus belajar.

Mario menyela bahwa kalau mobil listrik bahayanya justru di baterainya sebagai sampah yang susah diurai, hal itu dibenarkan oleh Libradi dengan menambahkan bahwa sebenarnya hal yang terlihat baik bisa jadi malah sebenarnya kurang baik, dan sebaliknya. Sebagai pendosa, kita kudu cermat pilih-pilih mana dosa yang paling sedikit? 😅  Dan bisa diulangi, timpal Mario.

Chairul Amal Septono yang sejak awal hanya menyimak berpandangan bahwa mungkin permasalahannya ada pada pemakaian (eksplorasi) yang berlebihan sehingga merusak keseimbangan ekosistem. Dan di penghujung diskusi Marwan Massinai memberi catatan, Arsitek, Eksplorasi, Sustainable, Energi terbarukan, Pendosa  tetapi ada namanya Teori ... Pembangunan tanpa Teori atau ada juga the Will to improve.

Dalam perjalanan hidupnya, apa yang disampaikan Budi Sukada tidaklah salah karena yang dia sampaikan adalah berdasarkan keprihatinan dan pengamatannya tentang kenyataan yang memang terjadi hingga saat ini, kita semua memang abai terhadap lingkungan (bumi) kita.  

Andai yang terjadi tidak demikian, bisa dipastikan dia akan bersikap biasa saja ketika melihat bangunan di poster tadi. Bagaimana tidak?  Negara dengan hutan tropis yang luas ini, kayu dengan kualitas 1 saat ini sulit didapatkan, kalau pun ada sangat mahal harganya, kayu yang beredar di lapangan kualitasnya buruk, orang bilang kayu "kelas kambing", yang kualitas 1 justru lebih banyak diekspor!

Penggunaan kayu memang merusak lingkungan tetapi dia sebetulnya jauh lebih mudah diperbaiki (ditanami lagi), dibanding besi dan baja yang juga sama-sama merusak lingkungan, (jangan lupa) mereka menebang pohon juga ketika mengeksplorasi, dan apabila habis tidak bisa (akan sangat lama) untuk pengadaannya kembali. 

ilustrasi penambangan besi 160.000 km2 di kurst, rusia yang seperti halnya freeport, kegiatan penambangan selain menebangi pohon juga mengakibatkan kerusakan lingkungan sangat parah

Penanaman kembali memang mudah dalam teori, mengingat kerusakan hutan (penghilangan pohon) terus terjadi dan semakin masif, bahkan untuk pengadaan food estate pun direncanakan membuka hutan (menebang pohon) hingga satu juta hektare.  Untuk itu SANGAT DIPERLUKAN kesadaran dan pengaturan yang amat ketat sekali yang harus dibarengi dengan hukuman (punishment) yang berat dan adil, agar hal-hal seperti pada “hutan” jati pribadi milik rakyat tidak pula jadi menyusahkan masyarakat.

Meski kayu banyak kekurangannya, seperti soal awet, muai susut, kekuatan, atau kerusakan lingkungan, tetapi sampai hari ini, rumah (horizontal) rakyat Amerika pun yang terbanyak pakai kayu.

rumah-rumah permanen di amerika pun sampai hari ini masih menggunakan kayu, meski dari luar tampak kayu, di ruang dalam kita bisa tidak merasa tinggal di rumah kayu. indonesia bisa menjadikan ini sebagai inspirasi ketika membangun rumah berbahan kayu, karena rumah itu tidak selalu harus bata

Biang kerok yang selalu jadi masalah adalah MENEBANG TIDAK DIBARENGI DENGAN MENANAM KEMBALI, apalagi memeliharanya! 

Andai para penebang pohon ini seperti masyarakat adat, yang meski (sepertinya) untuk pemeliharaannya masih diserahkan kepada alam, tetapi kita sudah punya contoh baik yang perlu terus ditebar dan dikembangkan. Ada Suku Kajang di Sulawesi yang tiap menebang 1 pohon dibarengi dengan menanam 3 atau 4 pohon yang sama atau Suku Besemah, Sumatera Selatan, memiliki tradisi unik setiap memasuki hutan, wajib menabur biji-bijian. Mereka menaburnya di area terbuka, baik akibat longsor atau ulah manusia. 

Selain itu, yang diperlukan adalah REKAYASA GENETIKA. Contoh pohon trembesi cepat besar tetapi batangnya tidak kuat, di lain pihak pohon jati atau mahoni kayunya baik tetapi lambat tumbuhnya.

Bahan dengan kerusakan alam yang bisa diminimalisir sebetulnya memang kayu. Bahan alternatif yang bisa digunakan dan dikembangkan serta cepat tumbuhnya adalah bambu, yang masih tergolong kayu juga. Bambu 6 bulan - 1 tahun sudah bisa dipanen, ada juga yang 4-5 tahun dipanen, tetapi masih kurang dimanfaatkan dan dikembangkan.

ilustrasi bambu sebagai bahan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan mengingat cepat pertumbuhannya (kiri) juga beberapa contoh jenis banbu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan (kanan)

Kayu atau bambu musuhnya rayap dan lapuk. Besi dan baja musuhnya karat.

Bahan lain yang bisa dan perlu direkayasa serta dikembangkan untuk dimanfaatkan adalah LIMBAH.  Di konstruksi, limbah plastik telah mulai digunakan untuk pangaspalan, paving block, dan masih bisa dikembangkan untuk lainnya.

ilustrasi paving block yang dibuat dari hasil daur ulang sampah plastik

Ada juga Glass Fiber Reinforced Polymer  (GFRP) yang sebagai alternatif untuk pengganti tulangan beton. 

heydar aliyev cultural center karya zaha hadid menggunakan glass fiber reinforced polymer untuk selubung bangunannya 

Penelitian dan pengembangan masih perlu terus dilakukan, mengenai bahan alternatif apakah kayu, besi, baja, bambu, plastik, atau bahan-bahan campuran di antara mereka, ataupun bahan-bahan lainnya. 

Teknologi 3D printing pun telah merambah ke dunia konstruksi, menjadikan bangunan bisa diproduksi dengan cara di-print seperti layaknya kita mencetak tulisan atau gambar dengan alat cetak (printer).

ilustrasi pembangunan rumah menggunakan teknologi 3d printing menambah semarak dunia konstruksi

Memilih memang tidak mudah, tetapi pilihan harus dilakukan (tidak bisa dihindari) ....


| Jakarta, 15 April 2025 | samidirijono |
(sumber: diskusi grup WA tanggal 28 Agustus 2020 dan penambahan ilustrasi gambar dari berbagai sumber)
April 15, 2025 No Post a Comment
Banyak candi peninggalan dari kerajaan Hindu-Buddha di masa lalu yang masih bisa kita temukan di Indonesia, yang terbesar dan terlengkap adalah Candi Borobudur (bahasa Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit. Candhi Båråbudhur) yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (world cultural heritage) oleh UNESCO pada tahun 1991.


Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah. Lokasinya segaris dan berdekatan dengan dua candi Buddha lainnya, yaitu Candi Pawon dan Candi Mendut.

Sejarah Singkat Candi Borobudur 

Tidak ada keterangan pasti kapan Candi Borobudur didirikan, namun diperkirakan ketika wangsa Sailendra (Syailendra) berkuasa, Dharanindra memulai membangun Borobudur (sekitar tahun 770 M) dan Samaratungga merampungkan Borobudur (tahun 825 M),1 hal itu diperkuat dengan hasil penelitian bentuk huruf Jawa Kuno yang dipakai untuk menulis inskripsi-inskripsi pendek di atas panel relief Karmawibhangga. Peninggalan ini dibangun sebagai tempat pemujaan Buddha dan tempat ziarah. Tempat ini berisi petunjuk agar manusia menjauhkan diri dari nafsu dunia dan menuju pencerahan dan kebijaksanaan menurut Buddha.

Diduga Candi Borobudur mulai ditinggalkan masyarakat akibat tertutup abu vulkanik letusan Gunung Merapi. Dalam perjalanannya Borobudur kemudian sempat terlupakan akibat kondisinya tak hanya tertimbun abu vulkanik saja namun juga sudah dipenuhi dengan pohon dan semak belukar sehingga tidak terlihat bentuk dan rupanya karena berantakan dan terpendam sebagian.

Pada tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur jenderal Inggris menerima laporan tentang adanya candi di Desa Bumisegoro, dekat Magelang. Insinyur Belanda H.C. Cornelius pun diperintahkan untuk menelitinya, keadaan Candi Borobudur saat itu sangat memprihatinkan. Penebangan pepohonan dan semak belukar serta pembersihan lapisan tanah yang mengubur candi pun dilakukan, namun karena ancaman longsor pekerjaan tidak dilanjutkan.

Baru pada tahun 1835, seluruh bagian bangunan candi tergali dan terlihat atas perintah Hartmann pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu.


Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detail atas Borobudur diterbitkan, C. Leemans, yang mengompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Foto pertama monumen ini diambil oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.2


Kemudian pada tahun 1885, J.W. Ijzerman menemukan dan membuka dasar candi dan ia mendapati relief yang kemudian dikenal relief Karmawibhangga dengan jumlah panil sebanyak 160 buah.

Pemugaran Candi Borobudur3  

Tahun 1907  Theodoor (Theo) van Erp menggunakan prinsip anastilosis memugar bagian candi yang berbentuk oval di tingkat 7, 8, dan 9 hingga menyusun kembali stupa-stupa, pemugaran selesai pada 1911. Uraian lengkap mengenai Candi Borobudur yang ditulis oleh Theodoor van Erp dan N.J. Krom terbit pada 1927 dan 1931.


Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air, akibat penggunaan beton menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan, selain rusak karena proses alam, sehingga perbaikan lebih lanjut diperlukan. Perbaikan kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. 


Melihat itu, Pemerintah Indonesia pada tahun 1956 mulai menginisiasi pemugaran kedua Candi Borobudur yang didukung oleh beberapa negara yang tergabung dalam UNESCO serta lembaga lain dan masyarakat.

Pemugaran awalnya akan dipimpin oleh Ir. Ars. S. Samingoen4 kemudian digantikan oleh Prof. Dr. R. Soekmono yang dibantu Ir. Rooseno untuk segi konstruksinya. Pemugaran dan rekonstruksi kali ini berlangsung dari tahun 1973-1983 dan pada 23 Februari 1983 diresmikan oleh Presiden Soeharto.



Bangunan Candi Borobudur 

Candi Borobudur berbentuk bujur sangkar dengan ukuran seluruhnya mencapai 123 x 123 meter. Tingginya sekitar 42 meter yang terhitung sampai bagian atas puncak chattra. Tanpa chattra, tinggi Candi Borobudur diperkirakan 31 meter.

Bangunan Candi Borobudur terdiri dari 10 tingkatan. Enam tingkat di bawah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran semakin atas semakin kecil. Tingkat 7-9 berdenah hampir bulat, dan tingkat paling atas berupa stupa besar. Adapun di bagian kakinya dapat ditemukan relief cerita Karmawibhangga.

Secara keseluruhan, Candi Borobudur berbentuk stupa yang memiliki struktur berundak teras. Warisan budaya ini menurut Arkeolog UI, Noehardi Magetsari5, terbuat dari sekitar 55.000 meter kubik batu andesit yang bukan berasal dari kawasan Borobudur. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan putih telur ataupun semen sama sekali, juga tidak dengan cara menggesekkan sesama batu lalu diberi air seperti merekatkan batu bata, melainkan sistem interlock (saling kunci). Jadi, batu dipahat agar bisa memiliki pola saling mengunci. Di masa modern, teknik tersebut dinamai teknik interlock yang mirip permainan puzzle. Lewat sistem ini, orang dahulu memasang satu batu ke batu lain yang sesuai, hingga terkunci. Susunan tektonika seperti ini berfungsi pula untuk mengantisipasi gempa. Tektonika dalam arsitektur merupakan kreasi yang mengupayakan struktur dan konstruksi bangunan tidak hanya berperan untuk kekokohan bangunan saja namun lebih dari itu bagaimana mengekspresikan keindahan yang terkandung didalamnya.6

tektonika candi borobudur | @gwa.22.06.20227

Susunan batu andesit yang disambung kuat, disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, dengan teknik pasak, ada yang menyebutnya  "ekor merpati", "ekor burung layang-layang", atau"kupu-kupu"  yang mengunci balok-blok batu. Sepertinya hal itu diinspirasikan oleh tektonika arsitektur rumah mereka yang terbuat dari kayu. Setelah struktur bangunan dan dinding rampung barulah semua relief dibuat di lokasi.

Borobudur dibangun dengan gaya Mandala yang mencerminkan alam semesta dalam kepercayaan Buddha. Struktur bangunan ini berbentuk kotak dengan empat pintu masuk dan titik pusat berbentuk lingkaran. Jika dilihat dari luar hingga ke dalam terbagi menjadi dua bagian yaitu alam dunia yang terbagi menjadi tiga zona di bagian luar, dan alam Nirwana di bagian pusat.


Menurut W.F. Stutterheim, tingkatan Candi Borobudur dapat dibagi menjadi tiga sebagaimana konsep dhatu, yaitu tahapan yang harus dilalui untuk mencapai ke-Buddha-an.8

Ketiga pembagian tingkatan Candi Borobudur, yakni:
  1. Kamadhatu
    Kamadhatu merupakan bagian tingkat pertama atau kaki Candi Borobudur yang berhiaskan relief Karmawibhangga. Alam dunia yang terlihat dan sedang dialami oleh manusia sekarang.
    Kamadhatu terdiri dari 160 relief yang menjelaskan Karmawibhangga Sutra, yaitu hukum sebab akibat. Menggambarkan mengenai sifat dan nafsu manusia, seperti merampok, membunuh, memperkosa, penyiksaan, dan fitnah.
    Tudung penutup pada bagian dasar telah dibuka secara permanen agar pengunjung dapat melihat relief yang tersembunyi di bagian bawah. Koleksi foto seluruh 160 foto relief dapat dilihat di Museum Candi Borobudur yang terdapat di Borobudur Archaeological Park.
  2. Rupadhatu
    Rupadhatu adalah bagian tingkat kedua hingga keenam dari candi. Di tingkatan ini dapat ditemui relief Lalitavistara, Jataka, Awadana, Gandavyuha, dan Bhadracari. Merupakan alam peralihan, di mana manusia telah dibebaskan dari urusan dunia. 
    Rapadhatu
    terdiri dari galeri ukiran relief batu dan patung Buddha. Secara keseluruhan ada 328 patung Buddha yang juga memiliki hiasan relief pada ukirannya.
    Menurut manuskrip Sanskerta pada bagian ini terdiri dari 1300 relief yang berupa Gandhawyuha, Lalitawistara, Jataka, dan Awadana. Seluruhnya membentang sejauh 2,5 km dengan 1212 panel. 
  3. Arupadhatu
    Arupadhatu merupakan bagian tingkat ketujuh hingga kesepuluh dari Candi Borobudur. Relief tidak ditemukan di tingkatan ini, melainkan terdapat banyak stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia. Alam tertinggi, rumah Tuhan. 
    Tiga serambi berbentuk lingkaran mengarah ke kubah di bagian pusat atau stupa yang menggambarkan kebangkitan dari dunia. Pada bagian ini tidak ada ornamen maupun hiasan, yang berarti menggambarkan kemurnian tertinggi.
    Serambi pada bagian ini terdiri dari stupa berbentuk lingkaran yang berlubang, lonceng terbalik, berisi patung Buddha yang mengarah ke bagian luar candi. Terdapat 72 stupa secara keseluruhan. Stupa terbesar yang berada di tengah tidak setinggi versi aslinya yang memiliki tinggi 42 m di atas tanah dengan diameter 9.9 m. Berbeda dengan stupa yang mengelilinginya, stupa pusat kosong dan menimbulkan perdebatan bahwa sebenarnya terdapat isi namun juga ada yang berpendapat bahwa stupa tersebut memang kosong.

Arca dan Relief 

Selain wujud Buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca Buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. 


Arca Buddha terdapat dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa. Secara keseluruhan terdapat 504 arca Buddha dengan sikap meditasi dan posisi tangan yang berbeda di sepanjang candi.

Pada dinding candi di setiap tingkatan—kecuali pada teras-teras Arupadhatu—dipahatkan relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief Borobudur menampilkan banyak gambar, seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan, dan margasatwa, serta alat transportasi, seperti kapal bercadik. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno.


Relief-relief dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.


Astronomi9

Ilmu astronomi juga digunakan dalam membangun Candi Borobudur, stupa utama Borobudur adalah alat penanda waktu atau musim (gnomon) yang memanfaatkan bayangan sinar matahari. Bahkan jumlah stupa di Candi Borobudur pun melambangkan ilmu astronomi, jumlah stupa Candi Borobudur sebanyak 4x365, ditambah satu stupa paling atas (di puncak). Jumlah tersebut mewakili jumlah hari dalam satu tahun (365 hari), dan satu hari penambahan di setiap empat tahun sekali (tahun kabisat). Jadi masyarakat saat itu telah memahami langit dan gerak benda langit karena Candi Borobudur sarat dengan aspek astronomi. Candi Borobudur dapat menunjukkan arah Timur-Barat secara tepat. 

Menurut Endang Soegiartini, dosen astronomi ITB, "Kalau kita berdiri di atas puncak stupa lalu melihat ke arah pintu timur pada 21 Maret dan 21 September, kita melihat matahari muncul melewati pintu itu. Di luar (tanggal) itu  matahari tergeser sedikit ke arah utara atau selatan. Sampai akhirnya bergeser 23,5 derajat ke utara atau selatan. Itu kalau dari khatulistiwa. Kemudian posisi Borobudur itu kan 7 derajat Lintang Selatan. Itu dikoreksi dengan letak stupa-stupa itu."


Etnomatematika10
Sejak 1 dekade terakhir, para ilmuwan modern meneliti Candi Borobudur lewat pendekatan ilmu yang disebut dengan Etnomatematika. Etnomatematika adalah matematika yang tumbuh dan berkembang dari suatu budaya dan kelompok etnis tertentu.

Dari situ, para ilmuwan bersepakat kalau Candi Borobudur adalah bangunan dengan rumus Geometri Fraktal. Ini adalah cabang matematika mengenai bentuk yang memiliki pola berulang dengan detail tak terhingga yang dihasilkan dari pola rekursif. Karena dibangun dengan Ilmu Matematika Modern dan oleh peneliti Bandung Fe Institute, Rolan MD, dikatakan Candi Borobudur bersifat fraktal. Ini adalah sebuah struktur geometri kontemporer yang baru dikenal pada dekade 80-an di ilmu matematika modern.

Ilmu matematika canggih ini seperti menjadi rahasia Candi Borobudur yang baru terungkap di zaman modern. Penelitian geometri fraktal di Candi Borobudur menghasilkan ratusan paper ilmiah. Penelitian tersebut berlangsung sejak 2008 hingga 2011. Dari penelitian itu diketahui bahwa candi-candi di Pulau Jawa dibangun secara algoritmik atau seperti proses pembuatan program komputer, dengan mengikuti prosedur otomata selular totalistik.

Jumlah stupa Borobudur memakai rumus 2:3:4. Tinggi dan diameter stupa memakai rumus 1,7:1,8:1,9. Sedangkan kaki candi, badan candi, dan kepala/puncak candi memakai rasio 4:6:9.

9 sebagai angka penting dalam spiritualisme Buddha diaplikasikan dalam pola arca dan anak tangga. Misalnya, total ada 504 arca di mana 5+0+4=9. Lalu total anak tangga ada 360 di mana 3+6+0=9.

Konsep matematika terakhir adalah teselasi atau penyusunan berlapis oleh suatu bentuk poligon. Setiap stupa Candi Borobudur disusun dari 36 kubus berukuran 15x15 cm. Total luas permukaan kubus adalah 36 x (15x15) = 8.100 cm2 yang jika semua angkanya dijumlahkan 8+1+0+0=9.

Ilmuwan pun yakin Candi Borobudur adalah produk etnomatematika. Angka-angka yang muncul dalam ajaran dan filosofi Buddha hadir dalam elemen-elemen bangunan Candi Borobudur mengikuti pola geometri fraktal. Dan sekaligus menjadi bukti kehebatan nenek moyang Bangsa Indonesia dahulu kala.


Cymatic

Cymatics adalah bidang penelitian yang menggabungkan seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk mengeksplorasi hubungan antara gelombang suara dan materi fisik. Dalam cymatics, gelombang suara digunakan untuk mempengaruhi berbagai media seperti air, pasir, dan logam, menciptakan pola-pola yang menakjubkan dan kompleks. Proses ini tidak hanya menghasilkan visual yang indah tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang sifat-sifat gelombang suara dan bagaimana mereka berinteraksi dengan materi.11 


“Pola cymatic terbesar yang pernah dibuat adalah sebuah candi, yakni Borobudur, di Indonesia. Candi ini sangat aneh, karena sangat geometris, kecuali untuk lingkaran di tengah candi. Mereka seperti tidak sempurna dari geometri lainnya. Simulasi pola cladney menunjukkan, jika Anda meletakkan pasir di atas piring dan memainkan suara melaluinya, itu membuat bentuk geometris, tetapi jika Anda membekukan simulasi di frekuensi 3457 Hz, ya itu sempurna. Mereka bukan lingkaran sempurna, penyebab frekuensi, masing-masing stupa adalah titik fokus untuk frekuensi, itu mengapa lingkaran (terlihat) tidak sempurna, kecuali yang sentral. Pusat orbit sendiri adalah stupa raksasa, tidak ada yang ada di dalamnya, kuil yang tidak bisa Anda masuki di sana, tidak ada kamar yang dibangun di atas gundukan. Seharusnya cukup jelas sekarang yang digunakan untuk memfokuskan sesuatu dan inilah seberapa dalam pengetahuan Buddhis benar-benar berjalan,” demikian diungkapkan.12 


Flora dan Fauna13

Candi Borobudur merupakan obyek penting dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kajian keanekaragaman hayati. Candi ini memiliki lebih dari 1.460 relief yang menceritakan banyak hal, seperti Karmawibhangga dan Lalitavistara. Terkait flora dan fauna, lebih dari 80 spesies tumbuhan dan fauna telah teridentifikasi dari kedua narasi cerita tersebut dengan makna kemunculan yang belum banyak diketahui dalam cerita tersebut.

Apakah relief-relief tersebut hanya dekoratif atau memiliki makna simbolis belum sepenuhnya terpecahkan sejak penelitian dimulai pada tahun 1920-an.

Salah satu publikasi terbaru, Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga Borobudur Temple, Indonesia, merupakan sebuah penemuan baru cara pandang kesetaraan antara anthropocentris, flora, fauna, dan benda-benda post human lainnya tidak hanya prinsip hukum karma yang diperlihatkan, tetapi juga dapat digunakan dalam pengelolaan alam sekaligus indikator penting ekologi.

Menurut Ibnu Maryanto, Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur merupakan catatan komprehensif yang mencakup dimensi seni, budaya, dan kemasyarakatan masyarakat Jawa Kuno. Relief ini tidak hanya berfungsi sebagai ornamen, tetapi juga sebagai sarana penyampaian ajaran penting, khususnya tentang konsep dasar Panca Skanda sebuah ajaran penting dalam umat Buddha. Dalam relief tersebut, digambarkan bagaimana tindakan manusia berinteraksi dengan lingkungan, serta konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan.

Relief Karmawibhangga, yang memiliki 160 panel, menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga kematian melalui hukum sebab-akibat (karma). Penggambaran flora dan fauna di relief ini menunjukkan detail yang sangat akurat, memberikan wawasan tentang kekayaan alam yang diabadikan oleh pemahat. Identifikasi tumbuhan dan hewan yang diukir membantu memahami makna di balik relief tersebut.


Salah satu kesulitan dalam kajian ini yaitu ketika mengambil kesimpulan dalam identifikasi flora dan fauna, ternyata pemahat sengaja membuatnya bentuk struktur morfologi flora dan fauna baru bisa teridentifikasi jika dilihat dari sudut pandang ke atas, ke bawah dan depan. Semua hasil identifikasi dan cara pandang untuk mengidentifikasinya kesemuanya memiliki makna yang berbeda-beda dan penuh arti.  

Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis flora dan fauna disingkapkan di posisi kanan, tengah dan kiri ternyata memberikan makna penting dalam menarasikan cerita. Sebagai contoh kehadiran fauna di setiap panel menunjukkan waktu (pagi, siang, sore, malam) dan lokasi kejadian, serta melambangkan nilai sosial budaya tertentu. Flora, di sisi lain, melambangkan kehidupan manusia dan menggambarkan keanekaragaman tumbuhan yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Kuno.

“Sebenarnya Borobudur adalah sebuah “BOOK STONE UNIVERSITY”, kajian filsafat ilmu kehidupan terbahaskan di rangkaian panel-panel dan stupa mulai dari bawah hingga ke puncak,” ungkap Ibnu Maryanto.


Arsitek Candi Borobudur

Gunadharma adalah nama yang dikenal dalam legenda Jawa sebagai arsitek Candi Borobudur, ada sumber yang mengatakan bahwa ia berasal dari Karnataka, India Selatan, ada juga yang bilang dari Afrika, dan bukan tidak mungkin dia putra asli Nusantara.

Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh. Namun mengingat budaya yang diturunkan nenek moyang kita itu bukan tulis-menulis tetapi dengan cara bertutur, bisa melalui cerita, kidung, dan sebagainya, sepertinya dongeng atau legenda bahwa Gunadharma adalah arsitek Candi Borobudur bisa dipercaya kebenarannya, sedangkan mengenai perbukitan Menoreh, bisa jadi dia memang sempat menetap atau dimakamkan di sana, bahwa cerita dia menjadi jajaran bukit itu bisa saja hanya sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Mungkin dengan berjalannya waktu, nanti akan terungkap kebenarannya. 

Pastinya Candi Borobudur yang mencapai luas 15.000-an meter persegi, dibangun tanpa bantuan kecanggihan teknologi masa kini. Candi ini menyimpan banyak rahasia, salah satunya adalah ilmu matematika tingkat tinggi, sebagaimana telah diungkap di atas.

Ada yang berpendapat bahwa keahliannya diajarkan oleh arsitek candi dari India, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya, bahwa keahlian itu sepenuhnya hasil pemikiran arsitek candi dari Indonesia. 

Arsitek dan arsitektur kita mengalami kemunduran jauh, menurut Dwi Gawan IHB, IAI, “(arsitek kita sekarang) lebih mengikuti perkembangan arsitek dan arsitektur luar negeri, tidak salah, hanya Teknologi Arsitektur yang sudah dibuat lama di Indonesia malah terpinggirkan dan terlupakan. Jepang dan Cina selalu menghargai dan mengembangkan teknologi arsitektur lama menjadi teknologi terbarukan dan sekarang dipakai di banyak proyek besar mereka.”14 

Sementara menurut Ar. Budi A. Sukada, IAI, “Penyebab kita jadi mundur adalah tergila-gila pada eksplorasi bentuk dan wujud saja.  Semua hakikat di balik perwujudan dan pembentukan tersebut dengan sadar dikesampingkan karena dianggap dapat dipercayakan kepada insinyur sipil.”15 

Dewasa ini, keinginan mempelajari dan menggali arsitektur kita kian marak di bumi pertiwi ini, paling tidak ini bisa menjadi modal dasar bagi generasi selanjutnya agar arsitektur nenek moyang kita bisa dikembangkan lebih jauh mengikuti perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan roh atau jiwa aslinya. Mudah-mudahan arsitek (dan tur) kita bisa seperti nasib pemusik tanah air yang sudah bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Semoga!

| Jakarta, 27 Februari 2025 | samidirijono |
 (Disarikan dari berbagai sumber.)

____
Februari 27, 2025 No Post a Comment
Newer Posts
Older Posts

inFormasi

  • info LOKER ++
    Staf Akuntansi & Pajak
    10 jam yang lalu
  • job vacancies
    Junior QA
    12 jam yang lalu
  • info KEGIATAN
    🖼 pakar-pakaran vs ahli digital forensik
    1 minggu yang lalu

HOT BULAN INI

  • Penggunaan Kayu untuk Bangunan, Salahkah?
  • Sejarah KEBAYORAN BARU
  • Candi Borobudur

Populer

  • Pandangan dan Harapan Pengguna Jasa Arsitek Terhadap Arsitek Indonesia
  • Pejaten Raya dan Pejalan Kaki
  • Nyaman di Kamar Mandi

terAnyar

perTinggal

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  April (1)
      • Penggunaan Kayu untuk Bangunan, Salahkah?
    • ►  Februari (1)
      • Candi Borobudur
  • ►  2023 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2021 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2010 (7)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (5)
  • ►  2009 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Mei (9)

ruang Baca

  • pos Ngakak
    Sejarah Nama Virus Corona (Covid)
    9 jam yang lalu
  • catatan sami
    Premanisme dan Investasi: Antara Hukum dan Kepura-puraan
    1 minggu yang lalu
  • mariWARAS
    12 Aturan Cara Otak Bekerja
    2 minggu yang lalu
  • camKan
    Tulisan Cicero di Tahun 43 SM Terjadi Sampai Sekarang
    3 minggu yang lalu
  • tawaSESAaT
    Tarif PLN Naik Per 1 Januari
    1 tahun yang lalu
Perlihatkan 1 Perlihatkan Semua

About me

foto
a r s i t e k   s a m i
di sini tempat kita berbagi dan diskusi seputar hal-hal yang berhubungan dengan arsitektur ... selengkapnya tentang kami
arsitektur bencana elemen infrastruktur interior lingkung bina material panduan pedestrian penghargaan peraturan ruang publik sejarah sirkulasi udara tata letak transportasi

Created with by ThemeXpose