facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Karya +
    • Cagar Budaya
    • Hunian
    • Usaha
    • Ibadah
    • Sosial Budaya
    • Manajemen Konstruksi
    • nonArsitektur
  • Ungkapan
  • Catatan
  • Tentang Kami

UngKAPAN arsitekku

Dalam perbincangan pagi 18 Februari 2010 di sebuah stasiun radio swasta, Nuim Khaiyath mengatakan, bahwa dalam buku Inside the Third World disebutkan salah satu ancaman bagi Indonesia adalah masalah banjir. Menurutnya hal ini terjadi karena tanah telah tertutup oleh bangunan semua sehingga curah hujan yang begitu besar tidak dapat terserap oleh tanah.

Pembicaraan mengenai banjir ini mengingatkan kembali perbincangan ringan kami beberapa waktu yang lalu. Salah satu yang menyebabkan air hujan langsung menyentuh tanah adalah karena dinas pertamanan kita punya kebiasaan yang salah, yakni memangkas pohon pada saat musim hujan. Memang alasan pemangkasan pohon biasanya adalah karena cabang pohon dikhawatirkan patah atau cabang pohon menjadi terlalu rendah sehingga mengenai kendaraan yang lewat di bawahnya.

Tidak tahu bagaimana di kota-kota lain, tapi di Jakarta ini bila kita perhatikan telah ada perubahan cara memangkas pohon yang dilakukan dinas pertamanan, ini terjadi sejak era Sarwo Handayani memimpin di dinas pertamanan dulu, pohon-pohon dipangkas atau lebih tepat mungkin bila istilahnya ditebang--karena biasanya setelah pemangkasan hanya tersisa batang pohon besar--sudah jauh lebih tinggi dari era sebelumnya. Yang tadinya "penebangan" pohon dilaksanakan pada ketinggian 2 hingga 3 meter, pada era Handayani telah dilaksanakan pada ketinggian 3 hingga 5 meter, meski cara pemotongan masih relatif sama, yakni babat habis hingga tinggal batang besar.

Dengan cara pemangkasan seperti itu, kelak beberapa tunas yang akan tumbuh menjadi cabang baru berkecendrungan terjadi di seputar bekas batang terpotong dan ini pula salah satu yang mengakibatkan cabang pohon mudah patah di kemudian hari, selain karena pohon angsana yang biasanya ditanam di bahu jalan di Indonesia ini dari Jakarta sampai Merauke atau Sabang memang bukan dari jenis kayu tanaman keras yang tidak mudah patah. Namun akibat cara penerapan kebijakan yang salah (keseragaman) di zaman yang lalu, tanaman ini akhirnya menjadi semacam tanaman wajib yang dapat kita jumpai di seantero negeri ini.

Penanaman angsana yang dipakai untuk menggantikan akasia sebelumnya, semula hanya dimaksudkan sebagai tanaman sementara yang berfungsi untuk peneduh dan penyerap polusi, karena kedua tanaman ini memang tergolong cepat pertumbuhannya. Rencana selanjutnya adalah di sela-sela jajaran pohon ini akan ditanami jenis pohon tanaman keras yang tidak mudah patah, guna menggantikan pohon-pohon angsana ini kelak, namun rencana ini tidak pernah terwujud.

Pohon besar dan rindang salah satu fungsinya adalah dapat menahan air hujan yang tercurah dari langit agar tidak langsung jatuh ke permukaan bumi (tanah) namun fungsi ini seperti sudah tidak begitu disadari oleh kita sekalian, karena sekarang ini sudah jarang terdapat pohon besar nan rindang yang dapat menjadi tempat berteduh di kala hujan. Padahal pohon besar nan rindang bisa menahan air dalam jangka waktu setengah hingga satu jam lebih sebelum air itu menetes atau pun mengalir melalui batang dan ini artinya memberi kesempatan air yang ada dipermukaan tanah meresap atau mengalir terlebih dahulu, sehingga ini menjadi salah satu unsur pencegah banjir.

Pohon rindang dari jumlah daunnya yang banyak menyebabkan ia mempunyai luas permukaan yang lebar sehingga dapat berfungsi menampung air dalam jumlah besar. Itulah pulalah sebab kenapa di kala hujan cabang pohon itu jadi lebih rendah dari biasanya atau bahkan bisa patah akibat menahan berat beban air yang cukup besar tadi. Jadi sebaiknya pepohonan tidak dipangkas di kala musim hujan, kalau pun terpaksa dipangkas sebaiknya hanya untuk cabang tertentu yang memang telah menjadi terlalu rendah.

Tulisan ini dapat melengkapi tulisan Banjir Karena Ulahku sebelum ini.

| 18 Februari 2010 | samidirijono | arsitek |

sumber: http://balaijumpa.blogspot.com/2010/02/pohon-rindang-unsur-pencegah-banjir.html

 

Februari 24, 2010 No Post a Comment

Kebetulan tadi siang ada janji dengan seseorang di Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading, maka kepikiran mungkin selesai pertemuan bisa sekalian membeli baterai untuk kamera di sana. Namun ternyata toko yang ada di sana tidak menjual baterai kamera. Pramuniaga dengan ramah menjelaskan bahwa baterai kamera dapat dibeli di service center yang tidak jauh dari lokasi dan memberikan secarik kertas kecil yang berisikan alamat service center mereka.

Karena alamatnya tidak jauh, yakni di Jln. Raya Boulevard Barat maka sepulang dari MOI mampirlah ke sana. Service center terletak di kompleks ruko demikianlah masyarakat biasa menyebutnya. Disebut ruko atau rumah toko walau pada kenyataannya kebanyakan bangunan itu hanya menjadi toko, karena sangat jarang ditinggali, kalau pun ada biasanya yang tinggal di sana hanya para penjaga toko. Hal ini terjadi konon kabarnya karena membuat izin mendirikan ruko lebih mudah daripada izin membuat toko atau pertokoan. Kalau memang betul begitu, tentunya sungguh aneh peraturan di Indonesia ini ya?

Seperti kondisi kebanyakan deretan ruku-ruko di sepanjang Boulevard Kelapa Gading ini, bila kita perhatikan di sekitar area parkir ruko-ruko di sana hampir semuanya tipikal sama, yakni kondisi jalan parkir kendaraan hampir rata-rata rusak. Sedangkan di daerah Boulevard Barat yang dikenakan biaya parkir jam pertama Rp3000,00 dan Rp1.500,00 tiap tambahan jam berikutnya pun masih juga kita temukan kondisi jalan area parkir yang rusak dan tidak kunjung diperbaiki. Kenapa begitu?

Beberapa tahun yang lalu Ikatan Arsitek Indonesia pernah diundang untuk menghadiri rapat pihak-pihak yang berkepentingan di sana, seperti pemerintah daerah (pemda) setempat dan developer guna mencari titik temu di antara mereka mengenai kondisi perparkiran di Kelapa Gading. Saya kebetulan yang diutus Ketua Umum IAI saat itu untuk hadir dalam rapat tersebut. Rapat yang salah satunya membahas tentang masalah perparkiran di sana, di mana masing-masing pihak yang berkepentingan mempunyai pandangan yang berbeda tentang siapa sebetulnya yang memikul beban tanggung jawab untuk perbaikan di area parkir.

Berangkat dari sana pertanyaan ini sempat mengusik kembali dalam benak, "Apakah sampai hari ini masih terjadi lempar tanggung jawab antara developer dengan pemerintah daerah?" Di mana developer tidak berkehendak memperbaiki jalan dengan alasan pemda telah menarik retribusi parkir di sana sehingga merupakan kewajiban pemda untuk memperbaiki area parkir yang rusak, sedangkan pemda tidak merasa perlu memperbaiki jalan itu karena menurut pemda jalan itu belum diserahkan kepada pemda. Bila benar demikian, siapa yang dirugikan akibat perbedaan pandangan itu? Tentu saja para pemilik ruko dan masyarakat pengunjung ruko, karena dengan kondisi area parkir banyak yang rusak menjadi tidak nyaman untuk berkendara di situ. Masa iya perbaikan area parkir harus menjadi tanggung jawab pemilik ruko?

Mudah-mudahan kondisi jalan rusak di area parkir yang ada saat ini bukan karena masih berujung pada permasalahan yang sama. Tapi bisa saja hal seperti ini juga terjadi di tempat-tempat lain dan rasanya masyarakat atau publik berhak menuntut pihak-pihak terkait bila hal ini benar-benar terjadi, dengan dasar hukum undang-undang perlindungan konsumen tentunya.

Dan yang lebih aneh lagi, di Jakarta ini khususnya, di mana-mana untuk parkir kok bayar!

| 10 Februari 2010 | samidirijono | arsitek |

 

sumber: http://balaijumpa.blogspot.com/2010/02/area-parkir-tanggung-jawab-siapa.html

 

Februari 24, 2010 No Post a Comment

Jumat siang, 15 Januari 2010, tanpa direncanakan sebelumnya tiba-tiba timbul keinginan untuk menikmati suasana berjalan kaki di daerah Pejaten, tepatnya di Jalan Pejaten Raya. Untuk sampai ke daerah ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum bus Transjakarta, mengambil rute Kuningan ke Ragunan dan turun di halte Pejaten, lalu dari situ kita tinggal berjalan kaki untuk memasuki jalan Pejaten Raya.

Seperti biasa, karena letak halte di median jalan maka untuk mencapai sisi jalan kita bisa berjalan kaki melalui ramp (jalur landai) yang terhubung dengan jembatan penyeberangan. Sesampai di sisi jalan kita tinggal berjalan ke arah selatan menyusuri trotoar yang ada ke arah perempatan dan seperti layaknya trotoar-trotoar lain yang ada di banyak tempat di Jakarta, trotoar di sini pun tidak terlalu lebar. Di ujung perempatan jalan, persis di sisi sudut seberang kiri jalan terlihat bangunan Mal Pejaten yang didominasi oleh warna merah. Trotoar ini berbelok ke kiri dan berakhir di sebuah jembatan di mana terdapat sebuah kali kecil di bawahnya. Akhir trotoar inilah penanda bahwa kita telah tiba di ujung jalan Pejaten Raya.

Selanjutnya karena sudah tidak lagi terdapat trotoar maka para pejalan kaki bisa meneruskan perjalanannya melalui jalan beraspal atau di tanah tempat ditanami pepohonan yang menjadi pembatas jalan dengan riol kecil yang ada di pinggir pagar bangunan setempat. Sebetulnya enak berjalan kaki di sini, karena kita terlindungi dari terik matahari oleh deretan pohon yang cukup besar dan mulai rindang yang ditanam berjajar pada jarak tertentu hampir di sepanjang tepi jalan. Namun cukup berbahaya karena bisa saja sewaktu-waktu kita celaka karena tertabrak kendaraan yang melintas di sana.

Sedangkan untuk berjalan di atas tanah pun kita tidak bisa nyaman, karena terdapat batang-batang pohon yang ditanam berjajar di sana dan tanah itu memang difungsikan untuk penanaman pohon peneduh yang berguna juga sebagai penguat paru-paru daerah setempat. Jadi pejalan kaki cukup kerepotan bila ingin nyaman berjalan di lingkungan seperti ini.

Hal ini diperparah dengan penempatan pal batu penanda wilayah yang dapat kita temui di dekat halte yang terdapat di sana. Pal penanda wilayah ini diletakkan tanpa perencanaan yang baik, sehingga semakin mengganggu bagi kenyamanan pejalan kaki, apalagi di dekat halte itu juga dibuat pagar yang semakin mempersempit area pejalan kaki. Bagaimana pejalan kaki lewat di sana? (lihat foto halte) Inisiatif warga menutup riol dengan bis beton bisa menginspirasi untuk pembuatan jalur bagi pejalan kaki, hanya saja untuk perbedaan ketinggian dengan jalur keluar kendaraan masih perlu disesuaikan agar tidak mengganggu kenyamanan keduanya.

Apabila pemerintah daerah setempat bisa berinisiatif untuk memberi penutup riol (saluran pembuangan air) yang ada di tepi jalan itu, maka para pejalan kaki tentu akan merasa lebih aman dan lebih terjamin keselamatannya berjalan di daerah ini. Tentunya penutup ini tidak perlu dicor penuh di atas riol, tapi cukup dengan bis-bis beton dengan lebar dan panjang tertentu agar sewaktu-waktu masih dapat dibuka bila ingin melaksanakan pembersihan riol, sebagaimana yang dapat kita temui pada beberapa lokasi di jalan ini yang dibuat oleh para pemilik bangunan setempat.

Untuk area halte juga perlu ditata kembali, khususnya dalam hal penempatan pagar pembatas dan pal penanda wilayah agar masyarakat pengguna dapat menikmati fasilitas kota yang telah disediakan. Pelataran halte bisa sedikit diperlebar agar pal penanda wilayah bisa digeser dan diletakkan di sana, sehingga orang berjalan pun bisa lebih leluasa. Sedangkan untuk pagar, apa perlu ada pagar diletakkan di sana?

Pemerintah daerah dan pemerintah kota di Indonesia perlu mengubah kondisi seperti ini, dengan lebih mengedepankan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan pengguna jalan, bukan saja bagi pengendara kendaraan tapi juga bagi pejalan kaki. Pelaksanaannya bisa saja dilakukan sekaligus atau secara bertahap disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah masing-masing. Yang bila dilaksanakan secara bertahap harus ditentukan jadwal pelaksanaan dan target-target pencapaiannya, misalnya tahun ini dilaksanakan untuk sisi kiri jalan sepanjang 100 meter, tahun berikutnya 100 meter lagi, demikian hingga selesai. Rakyat senang, pemerintah pun senang.

Perjalanan pun berakhir setelah tiba tempat tujuan, yakni di kampus Next Academy. Pelajaran kali ini yang dapat dipetik adalah bahwa ternyata untuk berjalan kaki di Jalan Pejaten Raya ini membutuhkan keberanian ekstra lo!

| 23 Januari 2010 | samidirijono |

 

sumber: http://balaijumpa.blogspot.com/2010/01/berjalan-di-pejaten-raya-tidak-nyaman.html

 

Februari 24, 2010 No Post a Comment

Saat ini bila Anda melewati kompleks istana akan terasa ada perbedaan nuansa yang terjadi di sana. Kompleks istana kini telah dikelilingi oleh pagar besi yang menjulang tinggi, tidak seperti dahulu di mana kita masih bisa merasakan kehangatan bila melintas di sekitar kompleks istana. Kini dengan ketinggian pagarnya yang mencapai lebih dari 2 kali lipat tinggi semula maka bila kita melihat ke arah istana akan tampak sederetan jeruji besi bak sebuah penjara. Sedangkan para narapidana yang ada dibalik jeruji besi itu tidak lain adalah bangunan-bangunan gedung di kompleks itu beserta orang-orang yang berada di dalamnya.

Istana saat ini memang berbeda dengan ketika di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, era di mana masyarakat kecil dapat masuk istana dengan lebih bebas walau hanya bersarung dan bersendal jepit. Di masa itu istana memang milik rakyat, rakyat bisa merasa memiliki istana yang bersahabat dengan mereka. Era sebelumnya, yakni di masa orde baru tidak mudah bagi rakyat biasa untuk masuk istana dan di era sesudahnya aturan-aturan protokoler istana pun secara perlahan tapi pasti mulai diperketat kembali, tidak mudah bagi rakyat biasa untuk masuk istana. Ada batasan-batasan yang harus dipatuhi, dari hal kecil seperti jenis sepatu hingga celana pun menjadi persyaratan bila kita ingin bertemu dengan presiden maupun wakil presiden.

Masih tergambar dalam ingatan kita, sejak peristiwa penuh aib di bulan Mei tahun 1998 maka lingkungan arsitektur kita pun mengalami perubahan, kekerasan demi kekerasan berdampak secara langsung maupun tak langsung pada bangunan di sekitar kita. Dengan alasan prioritas keamanan maka bangunan pun berpagar tinggi. Bangunan negara pun berturut-turut dari Monumen Nasional (Monas), Bank Indonesia, gedung wakil rakyat (DPR/MPR), gedung Kejaksaan Agung, Masjid Istiqlal, hingga yang terakhir ini istana kepresidenan pun tak luput dipagari dengan pagar tinggi.

Dengan ketinggian pagar yang jauh melebihi tinggi manusia itu tentunya menimbulkan tanya pada masyarakat. Ada apa dengan negeriku? Semakin tak amankah negeriku kini, hingga gedung-gedung negara sampai istananya harus dipagari setinggi itu?

Tidak adakah aturan yang mengatur batas wajar ketinggian pagar? Bila aturan itu ada, kenapa hal ini bisa terjadi? Apalagi ini pun terjadi di gedung-gedung negara, yang membuat seakan-akan pelanggar aturan dikomandani oleh gedung-gedung negara.

Pertanyaan lain, di manakah hak-hak publik untuk melihat dan menikmati kotanya bila ruang-ruang publik telah dipenuhi oleh pagar-pagar yang menjulang tinggi?
| 22 Januari 2010 | samidirijono | arsitek |
(foto diambil dari koleksi pribadi dan berbagai sumber)

sumber: http://balaijumpa.blogspot.com/2010/01/kompleks-istana-semakin-tak-ramah.html
Februari 14, 2010 No Post a Comment


Hari itu Selasa pagi 12 Januari 2010 dengan berkendara menuju ke tempat kerja sampai di perempatan Senen ke arah Tugu Tani yang karena tidak bisa lurus maka harus berputar mengambil rute melalui jalan Kwini 1, namun baru sampai di gedung Kebangkitan Nasional (STOVIA) kendaraan sudah harus berhenti karena antrian kendaraan yang cukup panjang akibat lampu merah lalu lintas yang terlalu lama. Rasanya tidak mengada-ada bila dikatakan demikian, mengingat seorang peminta-minta yang bergerak dari tempat lampu lalu lintas dipasang telah mencapai tempat di mana kendaraan yang saya tumpangi berhenti.

Sementara masih menunggu antrian, di atas trotoar terlihat seorang bapak beserta gerobaknya dengan sabar pun berhenti menanti jajaran kendaraan yang masih juga belum bergerak. Rupanya gerobak itu tidak dapat terus menyusuri trotoar yang ada karena tak jauh di depannya terdapat patok, batu, dan bak tanaman yang mempersempit trotoar sehingga tidak memungkinkan untuk dilewati oleh gerobak itu. Jadi untuk melanjutkan perjalanan terpaksa gerobak harus turun melewati jalan beraspal yang diperuntukkan bagi kendaraan, namun untuk itu dia juga harus bersabar menunggu kendaraan yang masih berhenti menanti lampu lalu lintas di ujung sana yang belum juga menyala hijau.

Lebar trotoar yang ada hanya selebar kira-kira 1,5 meter atau lima kaki (five foot) dan untungnya trotoar yang sempit ini tidak digunakan oleh pedagang untuk membuka lapak berjualan di sana sebagaimana bisa kita ditemui pada trotoar-trotoar yang biasanya berada pada titik-titik keramaian seperti di daerah perkantoran, pusat perbelanjaan, atau halte. Namun meski tidak ditempati pedagang, tetap saja trotoar ini tidak dapat dipergunakan untuk gerobak lewat di sana dengan nyaman, karena di titik-titik tertentu ada saja hal-hal yang dapat mengganggu kenyamanan pengguna trotoar di sana.

Dalam merencana jalan selain kenyamanan pengguna jalan ada hal-hal terkait yang harus dipikirkan, street scape dan street furniture, seperti sistem drainase, sistem utilitas, elektrikal, dan yang tidak kalah penting adalah kenyamanan pengguna trotoar, aksesori seperti tempat sampah, kursi taman, dan pepohonan tentunya akan menambah kenyamanan, mengingat kita berada di daerah beriklim tropis. Sudah tiba masanya untuk pemerintah kota-kota kita mulai bisa memikirkan hal-hal seperti ini dari saat mulai membuat rencana pembangunan kota, mengingat kota adalah untuk tempat kita tinggal bersama.

Setelah menanti cukup lama, akhirnya kendaraaan mulai bergerak perlahan namun si bapak dengan gerobaknya tampaknya masih harus sabar menunggu beberapa saat lagi untuk dapat melanjutkan perjalanan.

| 15 Januari 2010 | samidirijono | arsitek |
Sumber: http://balaijumpa.blogspot.com/2010/01/gerobak-dan-trotoar.html

Februari 01, 2010 No Post a Comment
Newer Posts
Older Posts

inFormasi

  • info LOKER ++
    Staf Akuntansi & Pajak
    10 jam yang lalu
  • job vacancies
    Junior QA
    12 jam yang lalu
  • info KEGIATAN
    🖼 pakar-pakaran vs ahli digital forensik
    1 minggu yang lalu

HOT BULAN INI

  • Penggunaan Kayu untuk Bangunan, Salahkah?
  • Sejarah KEBAYORAN BARU
  • Candi Borobudur

Populer

  • Pandangan dan Harapan Pengguna Jasa Arsitek Terhadap Arsitek Indonesia
  • Pejaten Raya dan Pejalan Kaki
  • Nyaman di Kamar Mandi

terAnyar

perTinggal

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2021 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juni (1)
  • ▼  2010 (7)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ▼  Februari (5)
      • Pohon Rindang Unsur Pencegah Banjir
      • Area Parkir Tanggung Jawab Siapa?
      • Pejaten Raya dan Pejalan Kaki
      • Kompleks Istana Semakin Tak Ramah
      • Gerobak dan Trotoar
  • ►  2009 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Mei (9)

ruang Baca

  • pos Ngakak
    Sejarah Nama Virus Corona (Covid)
    9 jam yang lalu
  • catatan sami
    Premanisme dan Investasi: Antara Hukum dan Kepura-puraan
    1 minggu yang lalu
  • mariWARAS
    12 Aturan Cara Otak Bekerja
    2 minggu yang lalu
  • camKan
    Tulisan Cicero di Tahun 43 SM Terjadi Sampai Sekarang
    3 minggu yang lalu
  • tawaSESAaT
    Tarif PLN Naik Per 1 Januari
    1 tahun yang lalu
Perlihatkan 1 Perlihatkan Semua

About me

foto
a r s i t e k   s a m i
di sini tempat kita berbagi dan diskusi seputar hal-hal yang berhubungan dengan arsitektur ... selengkapnya tentang kami
arsitektur bencana elemen infrastruktur interior lingkung bina material panduan pedestrian penghargaan peraturan ruang publik sejarah sirkulasi udara tata letak transportasi

Created with by ThemeXpose